Mendagri Tegaskan Hanya 6 Agama Yang Diakui di KTP

Mendagri Tegaskan Hanya 6 Agama Yang Diakui di KTP

Menteri Dalam Negeri(Mendagri),Tjahjo Kumolo, menegaskan secara tegas tentang kolom agama yang ada di Kartu Tanda Penduduk(KTP) hanya mengakui 6 agama. Agama yang diakui oleh negara sendiri ada 6 yaitu Islam, Kristen, Khatolik, Budha, Hindu dan Khonghucu. Selain dari ke-6 agama tersebut, Tjahjo Kumolo kembali menegaskan tidak ada legalitas untuk mencatumkan kepercayaan seperti Sunda Wiwitan dan lainnya.

Bagi Mendagri, aturan 6 agama tersebut sudah sesuai undang-undang, dan aliran kepercayaan tidak dapat masuk ek KTP karena tidak dianggap sebagai agama melainkan aliran kepercayaan.

Mendagri menjelaskan hal ini karena warga Ahmadiyah di daerah Manislor tidak kunjung mendapatkan E-KTP lantaran ajarannya dinilai menyimpang dari Islam. Mendagri pun menyarankan bagi pengikut Ahmadiyah daerah tersebut untuk mengosongkan saja kolom KTP yang ada didalamnya. Namun, Mendagri menyebut pihak Ahmadiyah menolak apa yang telah dianjurkan tersebut.

Kasus seperti Ahmadiyah pun terjadi di Kuningan, namun ajaran kepercayaan ini adalah Sunda Wiwitan. Anggota dari Sunda Wiwitan tidak diakui agama oleh pemerintah, sehingga ajaran tersebut tidak dapat masuk dalam status kolom agama di KTP.

Lebih lanjut Mendagri mengatakan bahwa ada banyak jenis aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, dan beberapa menginginkan aliran kepercayaan tersebut diakui agar nantinya dapat masuk dalam kolom agama. Tentunya sesuai undang-undang, hingga saat ini, hanya 6 agama saja yang diakui oleh negara.

Sedangkan untuk kasus Ahmadiyah, pihak dari Ahmadiyah sendiri mengaku masih berada di Islam dan memegang ajaran Islam. Namun meskipun demikian, Mendagri mengatakan pihak Majelis Ulama dan lainnya berpendapat bahwa ajaran Ahmadiyah menyimpang dan tidak diakui sebagai bagian dari Islam itu sendiri.

Bagi warga Ahmadiyah sendiri, bagi yang ingin mengambil KTP terlebih dahulu harus mau bersyahadat ulang dan bersedia dibimbing ke Islam yang sebenarnya. Pihak Ahmadiyah sendiri menolak hal ini, dan mengatakan bahwa hal ini merupakan bentuk intimidasi yang dilakukan terhadap warga Ahmadiyah itu sendiri.