Tingginya biaya politik di Indonesia pasca reformasi, telah menyeret partai politik (Parpol) dan kadernya pada perilaku korup. Akibatnya yang dikembangkan bukanlah demokrasi substansial melainkan demokrasi kriminal. Ke depan, negara sebaiknya membiayai Parpol sehingga tidak ada alasan mereka melakukan korupsi lagi.
Pemerintah sebaiknya mengalokasikan anggaran khusus dalam APBN untuk membiayai parpol. Dengan begitu pemerintah dapat mengawasi penggunaan keuangannya, termasuk dari mana saja mereka mendapatkan dana. Nanti akan ada auditor independen yang memeriksa keuangan parpol secara berkala,” kata ekonom senior DR Rizal Ramli, di Jakarta, Kamis (14/3).
Menurut Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid ini, nilai anggaran yang harus dialokasikan pemerintah untuk parpol tidak besar. Jumlahnya hanya sekitar Rp 5 triliun. Dibandingkan total anggaran dalam APBN 2013 yang lebih dari Rp 1.683 triliun, jumlah ini relatif tidak berarti. Pada saat yang sama, dengan mengalokasikan anggaran secara resmi, parpol tidak bisa lagi menjarah di APBN seperti selama ini mereka lakukan. Nilai anggaran pembangunan yang dijadikan bancakan nilainya sekitar Rp 60 triliun.
Dengan menerima anggaran dari APBN, pemerintah punya hak penuh mengaudit keuangan parpol. Jika ditemukan penyimpangan dalam sumber-sumber pendanaannya, bisa dikenai sanksi. Begitu juga jika kader-kader parpol melakukan korupsi, maka tahun depan anggaran mereka akan dipotong, papar tokoh nasional yang menjadi ikon perubahan ini.
Rizal Ramli yang juga Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) menyatakan keyakinannya, bahwa dengan mekanisme seperti itu kelak partai politik tidak lagi berani sembarangan dalam merekrut kadernya. Mereka akan dipaksa mencari figur-figur yang memiliki integritas dan kapasitas untuk mengisi posisi jabatan publik, seperti DPR dan kepala daerah. Pasalnya, setiap pelanggaran keuangan yang terjadi, akan berdampak pada pengurangan alokasi anggaran tahun depan. Hal lain yang lebih penting lagi, hal itu juga berdampak anjloknya perolehan suara pada pemilu berikutnya, karena rakyat pasti akan meninggalkannya.
Dana bantuan kepada parpol yang selama ini diberikan pemerintah terlalu kecil. Akibatnya, bukan saja tidak efektif, tapi juga pemerintah tidak bisa mengontrol keuangan parpol. Itulah sebabnya banyak pertai politik yang mencari dana dengan segala cara, termasuk sengaja memainkan anggaran di DPR untuk dana proyek pembangunan infrastruktur.
Ketika Orde Baru berkuasa, korupsi dilakukan pada level pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai APBN. Begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo pernah memprediksi kebocoran anggaran saat itu mencapai 30%. Namun di era pasca reformasi, korupsi sudah dilakukan sejak awal pembahasan anggaran di APBN. Korupsi berlanjut pada saat pencairan anggaran yang menggunakan jasa anggota DPR yang berfungsi sebagai makelar anggaran. Selanjutnya korupsi kembali terjadi pada saat proyek dikerjakan di lapangan.
Dengan fakta seperti ini, tidak mengherankan banyak kader parpol yang menjadi pejabat publik kesandung kasus korupsi. Dalam lima tahun terakhir saja, sudah 30% bupati dan walikota yang masuk penjara, 20% gubernur tengah diproses secara hukum, dan 50% anggota komisi anggaran DPR masuk penjara.